Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

Menutup Diri dari Pahitnya Nasihat

"Biarkan saya berjalan sebagaimana yang saya inginkan. Bukankah lebih baik bila nasihat itu kamu peruntukkan kepada dirimu sendiri?". Terdengar dan terkesan bijaksana, tapi sayang, belum tentu dapat diterapkan dalam segala keadaan. Nasihat dan julidan merupakan dua hal yang terkadang sangat tipis perbedaannya, sehingga tak sedikit manusia sulit untuk membedakan keduanya. Entah karena pernah adanya pengalaman dinasihati dengan cara yang kurang indah, atau memang tersebab hatinya selalu menutup diri dari perhatian orang lain. Sekali-kali, tak ada salahnya apabila kita sedikit saja membuka telinga dengan tulus, kemudian membiarkan nasihat itu merasuki hati secara perlahan. Kendati pada akhirnya tak semua nasihat itu dapat diindahkan dengan perbuatan, setidaknya mengakui kebenarannya dengan hati saja sudah cukup. Jikalau seperti ini yang terjadi, maka kita berhak untuk menafikkan bila dicap sebagai orang yang antikritik. Sekurang-kurangnya berusaha kita terbuka atas sebuah nasiha...

Hati yang Butuh Ditentramkan

Ada waktu-waktu di mana hati dan perasaanmu penting untuk dinomorsatukan. Setelah berbagai keletihan menjaga perasaan orang lain berhasil kamu lalui, tak ada salahnya jika sedikit saja agar kamu mempedulikan ketentraman jiwamu sendiri. Dia telah lama lelah, sebab harus terus berkata 'iya' atas apa yang tak hatinya ingin. Dia telah lama ingin memberontak, karena selalu saja kamu paksa untuk 'mengalah' terhadap hal yang seharusnya dapat ia pertahankan. Ini tak selalu dapat disebut dengan sebuah egoisme, kecuali jika kamu membuat keputusan besar tanpa memikirkan baik dan buruknya terlebih dahulu, dan mengacuhkan bagaimana imbasnya terhadap hati orang lain. Ini hanya merupakan usaha sederhana untuk menyelematkan hati yang juga memiliki hak untuk diperjuangkan keinginannya; selama tidak keluar dari koridor kelaziman. Tetaplah merendah, terhadap beberapa hal yang memang tak mesti kamu perebutkan kuasanya. Namun, devinisi sabar bukan berarti kamu hanya tinggal diam dan mengaba...

Menjadi Tuan Rumah yang Arif

Tak salah bagi mereka yang ingin datang sebagai tamu, sebab terkadang hati kitapun tak ubahnya sebuah rumah; yang tak hanya bisa ditempati, melainkan sesekali juga boleh untuk sekadar disinggahi. Dan selaku tuan rumah yang baik, memanglah mengambil hikmah atas setiap kehadiran sang tamu merupakan hal yang tidak mudah, namun akan sangat arif apabila telah berhasil dilakukan. Sebab tak semua yang ditinggalkannya hanyalah berupa penyesalan, tetap akan ada sisi baik yang seharusnya membuat kita sadar bahwa ternyata kita masih butuh untuk banyak belajar. Salah satunya ialah belajar tentang arti pentingnya merawat kepercayaan dan mempercayai. Terima kasih ^^ Selamat tinggal ^^

Sulitnya Merawat Keikhlasan Hati

Merasa banyak berjasa terhadap hidup orang lain memanglah tidak pernah dibenarkan. Namun, menganggap bahwa orang lain tidak pernah berkontribusi dalam hidup kita, juga tak kalah disayangkan. Semoga kita dijauhkan dari sifat semacam ini dan dari orang-orang yang memiliki sifat ini. Sebab jika hal tersebut terlanjur terjadi, keikhlasan hatilah yang akan menjadi taruhannya. Diawali dengan perang mengungkit jasa yang tak bisa dielak. Lalu membeberkan siapa yang paling banyak memberi juga sulit untuk dihindari. Kemudian diakhiri dengan terhapusnya seluruh amal yang sudah dicatat rapi oleh Malaikat. Hangus. Tidak ada kebaikan yang tertinggal, kecuali dosa yang menyebabkan pelakunya telah merasa kenyang sebelum makan.

Memintal kembali Jalinan Ukhuwah

Dirimu yang sempat terpunggungi oleh sesuatu yang tak kunjung kulisankan, akhirnya pulang walau sejatinya tak pernah kuanggap pergi. Kini kita bersepakat lagi untuk kembali memintal ukhuwah yang jalinannya sempat terlerai karena egoku yang sejalan dengan ketidaktahuanmu. Ternyata, diam dan menghilang tak selalu menjadi solusi dari redupnya binar pertemanan kita, yang seharusnya memang hal ini telah kita dudukkan sejak jauh-jauh hari. Namun tak mengapa, dari perpisahan sesaat itu aku belajar beratnya untuk mengakui bahwa aku kehilangan dan masih membutuhkanmu justru menjadi menyiksa diri sendiri. Kenangan empat tahun bersama sulit untuk kunafikkan indahnya. Sehingga aku memilih untuk menoleh lagi, yang kemudian kau sambut hangat dengan sebuah harapan besar, bahwa setelah ini tak akan ada lagi kenyataan pahit yang bernama perpisahan. "Jangan pergi lagi". Demikian pintamu padaku yang kadang terlalu gegabah dalam membuat keputusan. Matakupun seketika mengembun sembari mendekapmu...