Antologi Rindu
Embun masih setia dengan beningnya, dedaunan masih dibersamai oleh hijaunya, dan aku masih merindukan kedua warna yang sering kunikmati setelah nikmatnya bermunajat kepada Allah sejak subuh, setahun yang silam. Kumandang azan yang selalu mengisyaratkan padaku bahwa pertiga malam yang indah tidak lama lagi akan berakhir. Kini matahari juga kunikmati dengan cara yang lain, melalui fentilasi kamarku ia menyelinap masuk dan membawa hawa pagi yang tenang lagi menenangkan. Bibir kecilku selalu melangitkan doa yang sama kepada Tuhan yang selalu mendengar dan Maha Mendengar. Aku selalu berkeyakinan, gelap merupakan salah satu bentuk kencintaan Tuhan kepada hamba-Nya, dengan syarat hamba tersebut telah berhasil memaknai takdir dan mampu mensyukurinya dengan tekun.
”Aku masih percaya bahwa sabar dan syukur adalah dua cara terindah dalam menikmati takdir” gumamku dalam hati.
Tangan cekatan Mbak Iza selalu membersihkan dan menjaga barang-barang berharga milikku. Menurutnya kamarku ini masih seperti satu tahun lalu, tidak ada satupun barang yang berpindah dari tempatnya semula seperti yang kulihat terakhir kali. Di dinding kamarku masih terpajang beberapa foto-foto objek alam yang menjadi favoritku dulu; Ibu Bukan Makna Sebenar Rindu, Mati atau Kekal, dan Rapuh yang Meretakkan. Di lemari kamarku juga masih terpajang rapi beberapa piala yang pernah kuterima saat memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi dulu. Aku merupakan salah satu orang yang paling antusias melibatkan hati dan jemariku dalam kesempatan semacam itu. Berbekal kemampuan berpuitis yang diturunkan oleh Ayah, cerpen yang kutulis beberapa kali berhasil mencuri perhatian para juri dan mengundang pujian dari banyak pembaca setia di blogku.
Tapi semua itu sekarang hanya tinggal gelap. Aku telah lupa cara mengungkapkan cinta melalui kata-kata, aku telah lupa cara mengekspresikan rindu melalui diksi-diksi syahdu. Kecelakaan hebat yang kualami satu tahun silam telah merenggut tiga hal yang berharga di hidupku; Ibuku, Ayahku, dan penglihatanku. Di hari yang sama, aku mendapati kabar bahwa aku diajak berkolaborasi untuk menulis sebuah novel bersama salah satu Novelis ternama di Indonesia, yakni Om Tere Liye. Takdir yang tak pernah berani kuterka seakan menghampiriku dengan sendirinya, menyampaikan kabar terbaik yang sebelumnya belum pernah mampir di telingaku. Namun, sesaat setelah kusadari bahwa mataku tak lagi mungkin sesetia dulu membersamai hati dan jemari, kabar baik itu seketika pergi tanpa lebih dulu pamit dan meninggalkan janji bahwa akan kembali lagi.
Aku pernah bermimpi bahwa tulisanku kelak dibukukan, dipajang di berbagai toko buku ternama, dan dibaca oleh pembaca setiaku. Aku pernah bermimpi bahwa kelak jika aku mati, anak cucuku percaya bahwa aku pernah ada dengan buku-buku yang beratasnamakan diriku yang menjadi buktinya. Namun, nikmat penglihatan yang Allah ambil dariku menjadikan mimpi itu bukan hanya buram, melainkan tak lagi terlihat. Masa depan yang sudah kuusahakan terjalin rapi itu kini mengusut. Selain air mata, apa yang sekiranya dapat mewakili kesedihanku ini?
Sejak hari di mana warna tak lagi kukenali, aku pun dipaksa melewati detik dengan berbahagia sendiri di duniaku yang gelap. Inspirasi yang dulunya bisa kudapati kapan saja, kini menjadi sesuatu yang seakan enggan mengenalku. Tak jarang pula jemariku rindu ingin menulis lagi, tetapi hasrat yang telah hilang bersama dengan hilangnya penglihatanku membatasi rindu itu, hingga ia tak bisa berbuat banyak selain melangitkan do’a-do’a yang entah kapan terkabulnya.
“Assalamu'alaykum, Dek. Adek ada di dalam?” ketukan tiga kali bersambut salam dari Mbak Iza memecah lamun panjangku.
”Wa’alaykumussalam. Masuk aja, Mbak, pintunya tidak dikunci, kok.” aku pun beranjak dari tempat tidurku dan meraba apapun di dekatku yang bisa mengantarkanku hingga ke muka pintu,
”Zahra siap-siap ya, bakda dzuhur nanti insyaa Allah kita akan pergi.” tanpa menjelaskan hendak kemana dan untuk apa, Mbakpun berlalu dan meninggalkanku bersama tanda tanya.
Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan dengan menunggangi sepeda motor berwarna hitam peninggalan Ayah, akhirnya tibalah kami di sebuah tempat yang menurut Mbak belum pernah aku datangi sebelumnya.
”Hati-hati jalannya, Dek. Pelan-pelan saja.” Mbak terus memberiku instruksi agar berhati-hati.
Rasa penasaranku pun kian membesar. Teriknya matahari semakin menguatkan langkahku untuk bersegera masuk ke tempat asing itu dengan harapan dapat menemui jawabannya.
”Sebenarnya ini tempat apa, Mbak?”
”Nanti kamu juga tahu. Sabar akan mengantar kamu pada kenyataan terbaik, Dek.” kata Mbak singkat.
Tempat yang kami datangi kurasa asing, aku tidak tahu ada atau tidak sesuatu yang bisa diraba untuk mengantarkanku kepada jawaban atas rasa penasaran ini. Dengan lembut dan penuh kesabaran, Mbakpun menuntunku perlahan, langkahnya Ia perlambat untuk mengimbangi lambatnya langkahku.
Pada langkah ke sekian, aku mendengar suara beberapa orang yang sedang mengeja huruf demi huruf. Aku mengira bahwa Mbak membawaku ke Taman Kanak-kanak. Namun, dengan cermat kuamati lagi, aku mulai ragu dengan perkiraanku sendiri, suara yang kudengar di tempatittu seperti suara manusia dewasa. Tempat apa ini? Mengapa suara manusia dewasa itu seperti orang yang baru belajar membaca?
Mbak kembali menuntunku, membawaku masuk ke tempat itu lebih dalam lagi. Pada langkah ke sekian, aku kembali mendengar suara beberapa orang yang sedang membaca dengan terbata-bata. Rasa penasaranku pun telah sampai pada titik tertingginya.
”Tempat apa ini?” berkali-kali aku bergumam dalam hati dengan pertanyaan yang sama.
Orang-orang di sekitarku mungkin turut menyaksikan keningku yang mengerut beberapa kali. Aku masih bertahan dengan seribu tanya dan berharap ada orang yang berbaik hati untuk membantu mengobari rasa penasaranku ini.
”Kamu sedang berada di sebuah tempat yang akan mengingatkanmu cara menuangkan cinta melalui kata-kata. Kamu sedang berada di sebuah tempat yang akan mengingatkanmu cara mengekspresikan rindu melalui diksi-diksi yang syahdu.”
Aku masih tidak mengerti, pertanyaanku belum terjawab sepenuhnya. Rasa penasaranku kian mendesak. Meski pun Mbak telah berpuitis sedemikian itu, rasa keingintahuanku tak kunjung terobati.
”Yayasan Cinta Kata adalah sebuah tempat untuk orang yang mencintai cita-citanya. Di sini semua orang yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap cita-citanya sedang berusaha membuktikan cinta itu dengan cara yang dianggap mustahil oleh sebagian orang.” Mbak menjelaskan kepadaku dengan penuh kelembutan sambil kedua tangannya mendekap hangat kedua bahuku.
”Di sini kamu akan dituntun untuk menjemput mimpimu melalui huruf braille, sayang. Kamu akan kembali mengenali huruf, membaca, dan menulis pesan-pesan cinta untuk para pembaca setiamu dengan cara yang lebih istimewa. Kamu bisa menciptakan bukti kepada anak cucumu kelak bahwa kamu pernah ada dan pernah berkarya.” katanya lagi.
Awalnya aku enggan memperlihatkan rasa haruku di hadapan Mbak, tetapi pada akhirnya semua tak tertahan. Bendungan yang sudah kujaga dengan baik pun runtuh dan membuat pipiku dibasahi oleh bulir kebahagiaan.
”Yang hilang adalah penglihatanmu, Dek, bukan ingatanmu. Jika kau tak lagi bisa melihat genangan yang sedang membasahi pipi Mbak, paling tidak kau masih bisa mengingat angan yang pernah kau beritahu pada Ummi dan Ayah dulu.”
“Buta tak membuatmu kehilangan cara untuk membuktikan cintamu pada Ummi, Ayah, dan Mbak, kan? Angan yang suatu saat akan menjadi nyata dan harus kau beritakan kepada dunia. Setiap tulisan memiliki pembacanya sendiri, dan kau harus merebut hati seisi dunia melalui tulisanmu itu. Jika Mbak saja merasa lebih dari sekadar kagum, maka mereka harus terperangah. Hati Mbak saja sudah kau curi, maka bagaimana mungkin kehebatanmu bisa merek pungkiri?”
Sejak kepergian Ayah dan Ummi, Mbak semakin mahir dalam berpuitis. Tak jarang nasihat-nasihatnya meluluhkan hatiku dan membuatku tetap merasa bahwa Ummi dan Ayah masih ada.
Menjemput kebahagiaan; sederhananya demikian. Alhamdulillah, Mbak telah Allah titipkan untuk menjadi jembatan antara kesedihanku kemarin dan kebahagiaanku hari ini. Allah tak pernah menuliskan alamat yang salah terhadap sebuah takdir. Aku? Aku akan melanjutkan kesenanganku bercinta dalam kata dan bersaksi dalam diksi yang sempat memudar perlahan sejak satu tahun silam, rinduku yang sempat berbatas itu akhirnya kembali bisa kuredakan, serta jemari dan hatiku akan setia saling membersamai.
Benar bahwa telah Allah selipkan hikmah di balik cobaan sebagaimana Allah sembunyikan pelangi di balik hujan. Benar bahwa hikmah terkadang datangnya setelah kita nyaris lelah dalam penantian. Fa bi’ ayyi aalaaa’I robbikumaa tukazzibaan.
”Hatiku tenang karena mengetahui apa yang telah melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” (Umar bin Khattab)
Komentar
Posting Komentar