PLP-ku Berlalu; Mewarnai, Terwarnai, atau Mempertahankan Warnaku Sendiri?
Semester tujuh telah terlewati dengan tenaga, waktu, dan keluhan yang sedikit lebih banyak dari enam semester sebelumnya. Setelah Kukerta yang menyisakan banyak cerita dan cita-cita untuk kembali ke Rupat Utara, aku disambut dengan sebuah kegiatan yang lelahnya tak terbersit sedikitpun dalam pikiranku, PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan).
SMP N 34 Pekanbaru merupakan sekolah yang menjadi takdirku setelah yang sebenarnya kupilih ada sekolah yang berbasis islam; seperti MA N 1 atau _Future Islamic School_. Kenapa aku memilih sekolah tersebut? Alasannya sederhana, aku hanya ingin berada dalam zona yang aman bagiku yang mudah futur ini, aku ingin terhindar dari sentuhan dengan lawan jenis walau ia adalah muridku, aku ingin diperbolehkan mengenakan gamis ketika sekolah umum mewajibkan para guru mengenakan baju yang atasan dan bawahannya terpisah. Tetapi Allah punya rencana yang lebih baik, boleh dikatakan aku terdampar di sebuah sekolah yang namanya saja belum pernah kudengar sebelumnya.
Kabar mengejutkan tersebur membuat aku sontak mencari informasi lebih tentang sekolah itu, khususnya perihal lokasi. Setelah mengetahui bahwa jarak tempuh menggunakan sepeda motor antara tempat tinggalku dan sekolah tersebut memakan waktu tiga puluh menit, sepismistis dan pikiran-pikiran buruk mulai merajaiku; aku merasa tak mampu jika harus menghabiskan satu jam perjalanan pulang dan pergi setiap harinya selama tiga bulan. Tapi lagi-lagi janji Allah yang terdapat pada Q.S. Al-Baqarah: 286 membuatku lebih kuat daripada sebelumnya. 'Tenang, ada Allah!', begitu gumamku.
Aku persingkat saja.
Alhamdulillah, di sekolah itu Allah mempertemukanku dengan seorang guru pamong yang kini menjadi Ibu angkatku. Beliau tidak hanya menjadi orang yang membimbingku bagaimana menjadi guru yang baik di dalam kelas, melainkan beliau juga menjadi temanku berbagi cerita di kala lelah, menjadi penasihat terbaik di kala semangat melemah, dan kini menjadi orang yang sesekali mengusik ruang rinduku. Satu kalimat pernah beliau utarakan setelah agenda penjemputan mahasiswa PLP berlangsung; yang akan selalu mengikat di hatiku adalah, "Setelah ini Ovi akan selalu menjadi anak Ibu." Terima kasih, ibu, sebab telah membuat Ovi jatuh cinta semudah ini ♡
Kedekatanku dengan sang pamong tentu menjadi cara Allah dalam memudahkanku akan banyak hal. Sejak awal aku telah meminta izin kepada beliau bahwa aku ingin menggunakan gamis selama PLP dan tidak bisa bersalaman dengan murid-muridku. Dengan jiwa keibuan dan kemuslimahannya, beliaupun lantas menyepakati permintaanku di saat yang lain memandangku sedikit berbeda ketika menyaksikan aku menolak murid yang memberikan tangannya kepadaku untuk bersalaman.
Alhamdulillah, aku tetap menjadi diriku selama PLP berlangsung walaupun masih ada beberapa hal yang kukhawatirkan dan tak bisa kuceritakan satu persatu di sini.
Perihal murid-muridku. Aduh, sepertinya tak akan habis 5 bab novel jika aku harus menceritakan semuanya. Singkatnya, melalui mereka aku lebih memahami makna sabar, menekuni arti mengalah, dan dan belajar mendidik dengan cinta. Sebagai guru 'magang' yang kaya akan kekurangan, tentulah tak semua hati murid mampu aku taklukkan. Aku merasa lebih mampu mengambil hati anak-anak yang tak begitu senang dengan keramaian dan keributan, mereka orang-orang yang mampu menjadi diri mereka dalam kesendirian dan cenderung tenggalam jika berada di tengah keributan. Di kalangan murid pada umumnya aku dikenal sebagai guru yang cukup dingin, cenderung serius, dan mereka mengaku sulit membedakan antara marah dan becandaku.
Aku sendiri tak cukup akrab dengan anak-anak yang cenderung mempedulikan tampilan fisik, kurang tertarik dengan mengerjakan tugas secara serius, dan akan belajar setelah aku terpaksa memarahi mereka.
Ya begitulah anak-anak, Allah titipkan mereka padaku beberapa jam dalam sehari untuk menguji kesungguhanku dalam bersabar dan bersyukur. Tentunya mereka telah menjadi bagian dari sejarah hidupku dan kelak akan beruntung sebab akan selalu aku rindukan.
Kupersingkat lagi, ya.
Alhamdulillah PLP telah berhasil aku lewati, dan semuanya tentu atas andil Allah tabaroka wa ta'ala secara penuh. Dia yang memampukanku dalam banyak hal yang sebelumnya justru aku khawatirkan. Aku terharu dengan begitu banyak keromantisan Allah dalam membantuku menyelesaikan tugas demi tugas yang semulanya aku anggap bahwa menyudahinya adalah sebuah kemustahilan.
Yang jadi pertanyaannya adalah, bagaimana dengan warnaku? Terkalahkan oleh warna-warna lain, berhasil berbagai keindahan dengan warna lain, atau tetap pada keadaannya yang semula?
Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.
Ini PLP-ku, bagaimana PLP-mu?
Komentar
Posting Komentar