Menulis Hobi, Mendidik Jati Diri

Satu bulan bukanlah waktu yang lama untuk proses pamahaman, bukan pula waktu yang sekejap untuk sebuah penantian.

Semulanya, saya kira menjadi seorang guru akan dituntut keras untuk menerapkan teori yang diterima selama kurang lebih empat tahun mengenyam pendidikan di dunia perkuliahan. Namun, perkiraan itu saya bantah sendiri hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Sabar, merupakan satu hal yang lebih didahulukan daripada kecerdasan dan kepiawaian dalam beretorika. Mulai dari menghadapi pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab, merapikan kerudung dan dasi yang tidak berada di tempatnya, sampai hanya membukakan tutup botol atau kemasan makanan ringan mereka. Beberapa hal yang di atas saya sebutkan tidaklah membutuhkan rumus, tidak harus terlebih dahulu membuka KBBI, dan tak mesti mengilas-kilas kembali teori kesastraan yang pernah saya pelajari. Hanya sabar yang perlu ditanam, selalu dipupuk, dan terus dipelihara hingga melahirkan rasa cinta. Adapun perihal keikhlasan, lidah sama sekali tak punya kapasitas untuk melisankannya dan jemari tak punya hak untuk mengakuinya. Biarlah hati yang mengambil alih fungsi tersebut.

Mengapa memilih menjadi guru?
Lalu, kenapa harus menjadi guru SD?
Bukankah mengajar di SMA lebih menekan laju cucuran keringat? Bukankah SMP merupakan jenjang pendidikan yang paling aman dan sudah pernah dijejaki semasa PLP kemarin?

Setiap kali pertanyaan ini dilontarkan, saya hanya menjawab dengan jawaban yang serupa. Dengan jawaban yang pernah disampaikan salah seorang guru Bahasa Indonesia terbaik semasa SMA. Dengan jawaban andalan yang selalu saya pegang dan saya jadikan motivasi sederhana ketika masih 'membayangkan' S.I.Kom. menjadi gelar yang tersemat di belakang nama.

"Saya ingin menjadi seorang yang terdidik dan mendidik. Tidak peduli jenjang apa yang akan saya didik nantinya.
Jika saya tidak menjadi dosen, setidaknya saya menjadi guru SMA.
Jika saya tidak menjadi guru SMA, setidaknya saya menjadi guru SMP.
Jika saya tidak menjadi guru SMP, setidaknya saya menjadi guru SD.
Jika saya tidak juga menjadi guru SD, setidaknya saya pasti menjadi madrasah pertama bagi anak-anak saya (kelak)."

Sekali lagi. Sabar dan cinta, merupakan dua hal yang terlebih dahulu dibutuhkan murid, agar teori yang disampaikan tidak hanya singgah di ingatan dan pemahaman, melainkan juga tersemat erat di sebuah tempat yang dinamakan hati.

Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra Pragmatik_Novel Sebelas Patriot

Kauniyah Oil; si Botol Hijau dengan Khasiat Memukau

Berlembar Narasi Tentang Mengabdi