Filosofia
(Saya adalah pembaca setia dari setiap tulisan saya.)
-----
Nama merupakan pemberian orang tua yang di dalamnya telah mereka selipkan do'a serta pengharapan, yang tidak lain agar segala kebaikan senantiasa membersamai buah hatinya.
Nah, ketika kita menemui seorang penulis atau seseorang yang gemar menulis tidak menggunakan nama aslinya pada setiap tulisannya, bukan berarti orang itu tidak bangga, tidak menghargai, atau tidak bersyukur atas nama yang diberikan orang tua kepadanya. Sebagian besar penulis atau orang yang gemar menulis menggunakan nama samaran (baca: nama pena) dengan maksud dan tujuan tertentu. Beberapa di antara alasan mengapa seorang penulis menggunakan nama pena dapat kita baca atau pelajari (jika memang ingin tahu) pada kajian Sejarah Sastra di Indonesia. Tulisan saya kali ini tidak akan menjabarkan terkait sejarah sastra, tetapi saya akan sedikit memaparkan filosofi dan arti dari nama pena saya.
Novel Bumi Cinta merupakan novel pertama yang 'berhasil' saya baca hingga selesai pada tahun 2013. Ini pencapaian yang luar biasa untuk seorang yang tak suka membaca (seperti saya). Novel yang terdiri dari 400an halaman ini menceritakan tentang seorang santri salaf bernama Muhammad Ayyas yang sedang bertarung mempertahankan keimanan dan keislamannya sewaktu melakukan penelitian di Mokwo, Rusia. Habiburrahman El-Shirazy menggambarkan Ayyas sebagai sosok yang luar biasa; nyaris sempurna. Kecerdasan, kebaikan, kebijaksanaan, dan keimanan yang Ayyas miliki membuat siapapun kagum padanya, termasuk 3 tokoh wanita yang ada pada novel tersebut; Linor, Anastasia, dan Yelena.
Linor merupakan seorang atheis, ketaatan Ayyas membuat ia sempat begitu membencinya. Namun, di akhir cerita, hidayah datang kepadanya melalui sebuah kejadian; Allah lembutkan hatinya untuk menerima kebenaran dan kembali memeluk agama Islam. Ayyas yang dahulunya sempat dibenci oleh Linor justru merupakan salah satu alasan di balik taubatnya. Ketika masuk ke agama Islam, Linor pun mengganti namanya menjadi Sofia Ezuddin.
Sejak saat itu ia bermetamorfosa menjadi seorang muslimah yang taat, tubuhnya dibalut oleh pakaian serba terjaga; sebagaimana yang Allah perintahkan kepada Muslimah. Ia mempelajari islam lebih dalam, ia tinggalkan segala kesalahan yang pernah menjadi kegemarannya sewaktu masih di masa jahilliyah. Saya kagum pada bagian ini; sungguh ia begitu menekuni agama yang dahulunya sangat ia benci, jauh lebih tekun daripada saya yang terlahir dan dibesarkan dalam didikan Islam.
Sofia Ezuddin, nama seorang gadis atheis yang berubah menjadi seorang muslimah yang taat (atas izin Allah). Tidakkah Sofia beruntung?
Seorang yang membenci Ayyas, tetapi pada akhirnya Allah jadikan mereka saling kasih-mengasihi dalam ketaatan. Tidak kah itu indah?
Meski pun ini merupakan kisah fiksi, tetap ada hal baik yang dapat kita petik; tentang bagaimana seorang muslim harus berjuang mempertahankan keimanan dan keislamannya dalam keadaan apapun, tentang kuasa Allah yang mampu melembutkan hati siapapun yang dikehendaki-Nya.
Bunda Khadijah dan Bunda Fatimah akan tetap dan selalu menjadi suri tauladan bagi muslimah di dunia. Namun, meneladani tidak sama dengan menyamai. Beliau terlalu sempurna, terlalu tinggi jika harus menjinjitkan kaki ini untuk menjadikan keduanya sebagai mimpi.
Komentar
Posting Komentar