Antara Hijab dan Pola Pikir
Pernah saya membaca sebuah kiriman yang isinya memembahas tentang, hijab, akhlak, dan pola pikir. Tiga hal berbeda, namun tak terpisahkan.
Yang paling saya ingat dari tulisan seseorang di sana adalah; bahwa yang menjadi masalah bukanlah cara seorang wanita dalam berpakaian, melainkan pikiran dari orang yang melihat cara berpakaian wanita tersebut. Tertutup atau tidaknya seorang wanita (dalam berpakaian) tak perlu dipertanyakan, yang perlu dikhawatirkan adalah pikiran liar dari orang yang melihatnya.
Pernyataan ini tentu bersebrangan dengan istilah (mungkin juga pribahasa) yang sering kita dengar 'jika ada asap, maka tentu saja ada api'. Dalam kata lain, hukum (jika maka) seakan tak berlaku di sini.
Jika memang yang keliru adalah pola pikir manusia yang melihat; bukan si wanita yang berpenampilan--maka untuk apa Allah perintahkan wanita untuk menutupi auratnya (pengecualian untuk beberapa bagian yang biasa tampak); Q.S An-Nur:31? Daripada memenuhi kewajiban menutup aurat, lebih baik menyibukkan diri untuk memperbaiki pola pikir. Bukankah begitu?
Saya sepakat tentang memperbaiki pola pikir namun saya menentang garis keras "Daripada memenuhi kewajiban menutup aurat, lebih baik menyibukkan diri untuk memperbaiki pola pikir!".
Sebab selalunya mengakibatkan, bukan?. Sebab wanita tak mengikuti syari'ar dalam berpenampilan---akibatnya lelaki kesulitan memperbaiki pola pikir.
Bukankah suatu kebenaran yang di dalamnya terdapat kebaikan jika wanita menolong lelaki untuk memperbaiki pola pikir dengan berpakaian terhormat?
Guru teman saya pernah berkata "rsaknya lelaki karena wanita, rusaknya wanita karena wanita".
Saya sepakat bahwa manusia harus berhusnudzan kpd manusia lain, dan memperbaiki pola pikir merupakan bagian dari proses yang harus berkelanjutan. Namun, saya hanya khawatir, sebagian orang ''menyetujui'' tulisan seseorang yang saya maksud di atas, akibatnya semakin banyak hamba yang berpikir bahwa menutup aurat bukanlah perkara wajib :')
Komentar
Posting Komentar