Ayah, Aku Mencintaimu
Pertengahan tahun 2009, ini adalah permintaan ayah untuk kali kesekian. Salah satu impian terbesar beliau adalah, agar anak bungsunya ini menjadi seorang santriwati. Dan untuk kali ke sekian pula, aku dengan tegas menentangnya. Ayah memang keras, tapi untuk kasus yang satu ini ayah tak lebih keras dariku. Bagiku ayah keliru apabila mengganggap bahwa lingkungan dapat menentukan dalam-dangkalnya keimanan seseorang. Akan kujawab semua kekeliruan Ayah nanti, pasti!
Sungguh aku melihat begitu besar harapan beliau ketika memintaku untuk melanjutkan SLTP ke sekolah yang berbasis keagamaan. Namun aku tetap tak mampu mengindahkan harapan itu. Di benakku sudah tergambar berbagai hal membosankan dan menakutkan ketika menjadi santriwati nanti. Aku tak ingin masa mudaku terpenjara oleh kerasnya peraturan pesantren atau MTs. Bebas. Mungkin itu pilihan yang kuanggap paling benar waktu itu.
Kerasnya kepalaku membuat Ayah kalah (baca:mengalah), sampai akhirnya beliau mengizinkanku untuk mendaftar di SMP yang kumau.
7 Juli 2009, hari pengumuman kelulusan seleksi masuk SMPN 1 Tembilahan Kota.
"Novia Fahronnisya", alhamdulillah, kulihat namaku dinyatakan lulus dan menjadi salah satu dari sekian banyak siswa yang beruntung. Spansakot (begitu akronimnya) merupakan salah satu sekolah terbaik yang ada di Kabupaten Indra Giri Hilir, jelas aku merasa berbangga diri karena nilai raporku sukses membuat namaku tertulis di papan pengumuman itu. Aku ditempatkan di kelas 7.9. Beberapa bulan berjalan, aku betul-betul merasa tidak ada yang lebih pintar dariku, tak ada yang dapat menandingi tingginya rasa percaya diri yang kumiliki.
Seperti yang kuketahui sebelumnya, SMP itu belum mewajibkan siswinya untuk mengenakan jilbab. Aku sama seperti siswi pada umumya. Rok panjang bagiku tabu, jilbab apa lagi. Setiap harinya rambutku diikat sederhana. Tidak apa-apa tak berjilbab, terlihat rapi setiap hari bagiku cukup.
Beberapa hari menjelang pengambilan rapor semester 1, aku bernazar, bahwa apabila kelak aku yang menjadi juara 1, aku berjanji akan mengenakan jilbab. Tanpa dasar dan dalil apapun aku berikrar. Sama sekali aku tidak mengetahui apa hukum bagi wanita dalam menjaga auratnya. Hanya saja ada sebuah bisikan yang entah dari mana itu mengajak hati kecilku untuk memulainya.
Hari yang ditunggu tiba. Separuh hati aku yakin bahwa kepintaranku akan terbukti saat pengambilan rapor hari itu, separuhnya lagi aku meragu, sebab beberapa bulan lalu aku sempat mendapat peringkat ke-4 saat penerimaan rapor bayangan.
Wajah orang-orang berseragam olahraga itu sama tegangnya dengan diriku. Beberapa dari mereka tak berhenti berkomat-kamit. Suasana yang biasa kujumpai pada hari pengambilan raport semasa SD dulu.
Demikianlah takdir yang telah dituliskan Allah, si Angkuh itu mendapatkan apa yang ia harapkan. Menjadi peringkat 1 dari 37 siswa.
Berbagai ucapan selamat dan pujian dilontarkan pasaku, tentu saja aku tak tertahan lagi untuk terbang setinggi mungkin. Menembus batas langit yang tak dapat digapai siapa pun; selain aku. Tidak salah lagi, aku merasa berhak untuk berlaku SOMBONG.
Sejak hari itu aku terikat dengan nadzarku untuk mengenakan jilbab. Tak lama kemudian Ummi membelikan berbagai keperluan untuk memenuhi nadzarku itu; jilbab, rok panjang, dan kemeja panjang. Mengingat aku ini orangnya serba terburu2, Ummi sengaja membelikanku jilbab instan agar aku tak kerepotan ketika mengenakannya.
Hari pertama masuk sekolah di semester II, aku terlihat berbeda dari mereka yang masih membiarkan rambut-rambut indah mereka tampak oleh laki-laki. Rok pendekku sudah kugusur entah kemana, rambut yang sering kuikat dahulu kini tertutupi dengan adanya jilbab di kepalaku.
Penampilanku hari itu pun mengundang banyak pertanyaan dan tatapan agak lain dari orang-orang. Aku mencoba bersikap biasa, dan menjawab sebisanya apa yang dipertanyakan oleh teman-temanku.
Sungguh penampilanku terlihat berbeda. Kendati aku tak tahu benar apa hukumnya, yang aku rasakan adalah aku sedikit lebih istimewa.
Sampai aku melepas seragam putih abu-abu, jilbab itu masih setia di kepalaku. Aku merasa bahwa auratku cukup terjaga dengan itu, tetapi sayang, penampilan dan kepribadianku tak berimbang. Aku nyaris tidak ada bedanya dari mereka yang masih mengabaikan kewajibannya dalam berhijab. Semestinya aku selangkah lebih maju dalam bersikap, tapi nyatanya? NIHIL.
9 Juli 2015. Aku tidak tahu mengapa hari-hari penting dalam hidupku selalu bertepatan dengan hari kelahiran Ummi. Alhamdulillah, Allah memang tak mengizinkanku untuk menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi karena ada maksud di baliknya.
Ini merupakan kado terindah yang kupersembahkan untuk Ummi. Aku diterima di Universitas Riau pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia setelah berkali-kali gagal dalam berbagai tes ketika hendak masuk ke PTN.
Aku ingin melanjutkan hobi menulisku di Jurusan Ilmu Komunikasi, tetapi Allah menghentikannya dan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Mahasiswa FKIP?
Mengenakan ROK?
Salah satu kesyukuranku hari ini adalah, aku menjadi mahasiswa FKIP. Lingkungan baruku ini memberikanku banyak pelajaran. Khususnya perihal berbagai kewajiban sebagai muslimah. Aku mengenal banyak kakak-kakak yang mendapatkan hidayah lebih dulu dariku. Tubuh mereka tertutup rapat, wajah mereka merdu terlindungi khimar yang berkibar. Indah sekali.
Setelah mempelajari dan mempertimbangkan banyak hal, kumantapkan diriku. Awal memasuki semester II kumulai perjalanan yang kunamai dengan perbaikan. Pakaian yang sudah tak bisa kupakai lagi kukemas rapi dalam koperku dan menggantinya dengan model dan ukuran sebagaimana perintah Allah yang pernah aku baca pada sebuah buku berjudul 'Yuk Berhijab!'. Ku kira caraku dalam berpakaian 'kemarin' sudah seperti yang Allah kehendaki, ternyata Demi Allah itu belum apa-apa.
QS. Al-A’raf: 26, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Ayah, ini adalah keterlambatan yang sejak dulu ayah harapkan. Aku tahu ini tidak dapat membayar kekecewaan ayah dulu. Tetapi Ayah, sungguh aku mencintaimu. Semoga aku yang hari ini tidak begitu mempersulit hisabmu di akhirat nanti.
Orang-orang hanya bisa menjengkal khimarku yang kini hampir menutupi 80% tubuhku, tetapi tiada yang dapat menjengkal begitu dangkalnya imanku. Sungguh, sampai hari ini aku masih berusaha membenahi semuanya. Semoga Allah memampukanku, semoga Allah memampukan kita. Aamiin.
Semoga bermanfaat, shalihah❤
Komentar
Posting Komentar