Tentang Hikmah dan Hidayah
Tak jarang apa yang Allah tetapkan dan apa yang kita inginkan tidak beriringan.
Tak jarang kita dipaksa menikmati kekecewaan ketika takdir Allah tidak berpihak dengan apa yang kita harapkan.
Namun bukankah Allah penulis skenario terbaik di dunia ini? Sudahkah kita mempercayai bahwa tak ada satupun ketentuannya tanpa maksud dan tujuan?
Percayalah, dengan mensyukuri semua akan terasa nikmat, semua akan terasa hikmat.
Singkatnya, segala sesuatu yang Allah tetapkan pasti telah ada hikmah yang Allah sediakan. Namun seberapa sanggupkah kita bersabar untuk menanti hikmah itu tiba?
*************
Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HAMPIR)
******
Penghujung masa putih abu-abu merupakan saat-saat yang berat sekaligus menegangkan bagi siswa kelas 12. Mereka dihadapi dengan banyak ujian dan pilihan; pilihan dan ujian itu yang menjadi salah satu penentu perjalanan mereka ke depannya.
Bingung memilih jurusan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Ini merupakan salah satu dari berbagai kedilemaan yang akan timbul jelang putih abu-abu ditanggalkan. Saya juga sempat merasakannya; sempat berlama dalam kebingungan, dan akhirnya dijatuhkan oleh sebuah pahitnya kegagalan.
Ilmu Komunikasi (Ikom), sejak kelas 11 saya sudah menjadikan jurusan ini sebagai pilihan pertama dan utama jika mendaftar ke Perguruan Tinggi (nanti). Saya tidak begitu tahu dan tak pernah berusaha mencari tahu lebih jauh apa yang akan saya pelajari dalam jurusan Ikom ini nantinya. Yang saya tahu bahwa saya senang dengan dunia jurnalis, khususnya menulis. Dalam pikiran saya, apabila memilih jurusan ini, maka saya akan dapat mengembangkan minat menulis saya yang sebelumnya saya tidak tahu harus 'dikemanakan'. Menjadi salah satu orang yang bekerja di belakang layar Trans7 juga sempat saya idam-idamkan, juga menjadi penulis fiksi yang nama dan tulisannya akan sering muncul di berbagai media cetak dan di baca oleh pembaca setia saya.
Saya menyadari bahwa untuk masuk ke jurusan Ikom itu tidaklah mudah. Saya harus bersaing dengan ribuan calon mahasiswa lainnya dan harus berbesar hati untuk berbagai kemungkinan buruk yang akan saya terima nanti. Mengingat hal itu, maka telah saya siapkan 1 jurusan lain sebagai 'tempat pelarian', yakni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi (PBSI).
Saya rasa kedua jurusan ini tidak begitu berbeda jauh. Jika bukan di Ikom, maka bisa saja saya menemukan peluang itu di PBSI. PBSI merupakan Prodi Keguruan dalam Bidang Kebahasaan dan Kesastraan. Maka tentu saja segala ilmu terkait dengan kebahasaan, termasuk kiat-kiat menulis, akan saya temukan di sini.
9 Mei 2015.
Saya terjebak dalam rasa optimis yang belebihan, sampai akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit bahwa Allah belum perkenankan saya untuk lulus dalam SNMPTN; tidak Ikom, tidak juga PBSI.
Mendapati kenyataan itu, saya tak bisa mengelakkan diri dari rasa putus asa yang luar biasa. Rasanya semua pintu keberhasilan tertutup sudah, peluang untuk bisa menduduki bangku kuliah seakan tidak ada lagi.
Namun banyak pihak yang tak lelah menguatkan saya, terutama Ummik. Beliau lah yang menjadi alasan utama saya untuk bangkit lagi dari keterpurukkan waktu itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftarkan diri untuk ikut dalam SBMPTN. Kembali saya berjuang dalam peperangan lain, namun masih untuk tujuan yang sama.
Lagi-lagi ketetapan belum berubah, hati saya masih di Ikom; hanya saja tidak lagi menomorsatukannya. Jadi, pada pilihan pertama saya letakkan PBSI, sedangkan pilihan kedua dan ketiga saya letakkan Ikom di dua universitas yang berbeda.
Beberapa minggu jelang tes dilangsungkan, saya harus melahap banyak soalan yan tak lain sebagai bekal dalam saya menghadapi SBMPTN nanti. Tak terhitung lagi berapa banyak kesulitan dan cobaan yang saya alami menjelang hari H SBMPTN. Sedih bukan main, ketika banyak orang di luar sana hanya tinggal menikmati hasil, sementara di tempat lain saya harus bersusah payah berjuang untuk bisa menaklukan banyak soal agar dapat memperoleh kelulusan untuk mendapatkan satu bangku di PTN. Kali ini saya agak takut untuk seoptimis sebelumnya, takut jatuh lagi. Saya hanya bisa mengusahakan apa yang saya bisa dan menyandarkan harapan pada Allah, Sang Pemberi Keputusan.
09 Juli 2015, bertepatan dengan tanggal kelahiran Ummik. Sekitar pukul 19.00 WIB, Ummik, ialah orang yang pertama kali mengetahui bahwa saya diterima pada Progran Studi PBSI Universitas Riau. Alhamdulillah, selama saya hidup tidak ada kado lebih indah yang bisa saya berikan pada Ummi selain kabar bahagia hari ini. Saya tidak tahu harus bersyukur seperti apa lagi. Lidah saya mengelu, air mata saya tumpah, saya haru sejadi-jadinya haru.
Namun hati nurani saya tak bahagia sepenuhnya, rasa kecewa dan penuh tanya masih merajai hati ini.
Kenapa tidak Ikom?
Kenapa tidak Ikom?
Cukup lama saya menyayangkan kenyataan ini. Tidak begitu pahit, namun saya tidak bisa menikmatinya dengan khimat, sebab hati saya masih tertaut pada Ilmu Komunikasi.
Di samping saya harus mengikhlaskan bawa saya bukan mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya juga harus membiasakan diri dengan beberapa hal yang tidak saya sukai, salah satunya saya harus mengenakan rok setiap hari.
Jujur, nenjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia bukanlah mimpi saya. Terus terang saya sempat berkecil hati telah lulus ke Prodi yang banyak dipandang sebelah mata oleh orang banyak.
Namun waktu berjalan sebagaimana mestinya, menghantarkan saya pada sebuah jawaban yang sejak dulu saya pertanyatakan. Mebawa saya pada sebuah hikmah yang telah lama saya nantikan.
"Mengapa saya dijerumuskan di sini?"
Perlahan mata saya mulai terbuka dari tanya yang lelap dan gelap. Lambat laun saya sadari bahwa di lngkungan FKIP ini banyak hal yang bisa saya pelajari dan saya tiru.
Pemandangan yang mungkin jarang bisa ditemui di fakultas lain (bukan berarti tidak ada). Setiap hari saya amati para Muslimah yang lebih dulu beruntung mendapatkan hidayah oleh Allah. Mereka terjaga dan terlihat teduh dengan khimar yang berkibar melindungi segala keindahan yang telah Allah anugerahi pada diri mereka. Untuk sampai pada titik itu, mereka tentu telah melewati banyak liku. Dari hati kecil saya ingin seperti mereka, namun ada banyak hal yang masih saya pertanyakan.
Mulanya saya sedikit risih, di mata saya mereka terlihat berlebihan. Benarkah seperti itu yang Allah perintahkan? Tidakkah mereka berlebihan?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepala saya. Antara kagum akan keindahan mereka dan meragukan kedalaman iman mereka.
Kali ini tak saya biarkan pertanyaan dan keraguan itu berlama-lama mengendap tanpa terjawab. Berbagai penjelasan dan tanggapan sudah cukup sering singgah di telinga saya, tentunya dari berbagai sumber yang insyaa Allah terpercaya pula. Buku dengan berbagai judul sudah saya baca dan saya amati tiap lembarnya. Namun, lagi-lagi saya tak serta-merta mengerti dan mengerjakan apa yang seharusnya. Sulit bagi saya untuk memahami dan meninggalkan berbagai kebiasaan tidak baik yang akrab dengan saya sejak 16 tahun silam. Butuh waktu lama bagi saya untuk mengiyakan dan menentukan keputusan.
Awal semester 2. Sudah cukup banyak saya telan nasihat dan berbagai ajakan dari orang-orang terdekat saya yang langkahnya jauh lebih cepat dibanding saya dalam mengejar hidayah itu. Tak lama kemudian saya rasa semua ini cukup. Percarian saya sudah cukup jauh dan pertimbangan saya cukup matang. Maka tidak ada alasan lagi bagi saya untuk menunda semua ketertinggalan ini, telah tiba saat bagi saya untuk mengakhiri semua kekeliruan selama ini. Alhamdulillah, pertanyaan 'mengapa saya dijerumuskan di FKIP?' terjawab sudah.
Setelah lama saya pertanyakan dan menyayangkan kenyataan yang telah Allah tetapkan, akhirnya terbuka mata saya dari lenanya kekufuran selama ini.
Tentunya saya tidak sendiri dalam meniti jalan ini. Ada banyak pundak dan hati yang menemani saya dalam melangkah, mendengarkan banyak keluhan dan tak lelah menjawab setiap pertanyaan konyol yang saya ajukan, serta memberi banyak masukkan dan nasihat kala saya lupa apa tujuan saya semula.
Dan sampai hari ini saya masih terus belajar. Banyak hal yang membuat saya merasa bahwa saya benar-benar masih jauh dari titik taat. Banyak hal yang membuat saya harus sadar bahwa saya benar-benar seorang yang fakir ilmu.
Ada hidayah di balik hikmah. Mungkin judul ini yang pantas saya sematkan untuk perjalanan ini. Lagi-lagi saya tidak tahu harus bersyukur seperti apa. Selain tepat, janji Allah juga indah :)
Saya paham betul bahwa tidak ada jaminan bahwa saya akan bertahan hingga ajal datang. Bagi saya memulai dan bertahan sama sulitnya. Memang istiqomah tidak mudah, namun tidak mudah tidak sama dengan tidak bisa!
"Berjuanglah, paling tidak saat kita mati, kita mati dalam keadaan berjuang." (DS)
Catatan: Semangat yang baru mulai belajar. Yang harus kita catat, bahwa hijrah fisik merupakan bentuk penhijrahn yang paling bawah. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat 😊
Komentar
Posting Komentar