Sebuah Cerpen_MUTIARA
“Namaku Tia, kak”. Suara serak-serak basahnya masih terngiang di telingaku.
Jum’at, 30 Desember 2016. Enam puluh menit sebelum bertemu Tia, aku masih meraba-raba apa sebenarnya hakikat bersyukur itu. Aku masih mengeluhkan betapa banyak kemauanku yang belum Allah penuhi sampai hari ini.
******
Entah sudah berapa kali aku hanya numpang lewat di simpang empat itu. Yang paling sering kudapati ketika aku terjebak lampu merah di sana adalah, bapak-bapak pedagang mainan dan ibu-ibu pedagang koran. Yang ketika lampu merah menyala mereka sibuk mendekati pintu-pintu pengendara roda empat sembari menawarkan dagangan yang mereka bawa. Aku melihat harapan terlukis dari raut wajah mereka yang usang karena seharian disengat mahatari. Namun harapan itu lebib sering hanya berbekas asap, karena hampir tak satupun orang-orang yang ada di dalam kendaraan ber-AC itu tertarik untuk membeli dagangan mereka. Aku menyadari bahwa barang yang mereka jual memang tak banyak dibutuhkan orang, maka tak heran hampir 98% pengendara yang terhenti di lampu merah seringnya tidak menggubris mereka.
Seperti yang kukatakan di awal, aku tak pernah menghabiskan waktu di simpang empat itu selain karena alasan ‘terjebak lampu merah’. Tak pernah aku terlalu memerhatikan seberapa menyedihkannya pemandangan di sana, karena biasanya aku selalu sibuk menutup hidungku yang tak tahan oleh bau yang dikeluarkan oleh kendaraan roda empat yang sama-sama terjebak denganku. Sampai akhirnya setelah Tia menceritakan panjang-lebar, barulah aku tahu bahwa di tempat itu biasanya Tia menghabiskan hari-harinya.
“Tia mau kakak antar ke mana? “ tanyaku
“ke lampu merah aja, kak. Tu, di situ“ katanya, sambil menunjuk ke sisi kanan jalan yang diramaikan oleh pedagang buah-buahan.
“Ngapa ke situ? Kakak antar ke rumah aja, ya?“ kataku memberikan penawaran.
“aku kerja di situ kak, aku mau minta-minta“ suara seraknya menjawab tanyaku dengan penuh kejujuran. Kalau aku jadi Tia, mungkin aku tak akan sejujur itu.
Tak ada yang melemparkan kepalan ke wajahku, tapi tak tahu kenapa aku mendadak merasakan sakit. Tak ada yang mengancamku dengan sebilah pisau atau silet, tapi tak tahu kenapa rasanya pedih sekali. Ku coba menahan tangis sambil memahami apa sebenarnya yang aku rasakan waktu itu.
Ya Allah, aku tak pernah berfikir bahwa aku akan berbincang langsung dengan orang seperti Tia. Tia merupakan salah satu dari ribuan anak di tanah ini yang mengalami nasib yang tak lebih beruntung dariku. Umurnya kini 10 tahun, ini merupakan tahun ke-3 Ia menghabiskan hari-harinya di jalanan. Dia sama sekali tidak pernah merasakan bahagianya bisa bersekolah, namun ketidakbahagiaan itu sama sekali tidak tampak dari wajah lugunya. Mungkin karena Ia sudah terlanjur harus menikmati jalan hidup yang seperti ini.
Waktu aku seumur Tia, Ummi tak pernah membiarkanku berlama-lama di bawah matahari.
Waktu aku seumur Tia, tanganku lebih sering menggenggam pensil atau mainan, bukan digunakan untuk meminta-minta.
Waku aku seumur Tia, aku masih sering makan disuapkan oleh Ummi, bukan seperti Tia yang mencari uang sendiri.
Setengah hari berjemur mengharap kasihan dari orang-orang membuat bau badan Tia cukup tajam hingga tercium jelas oleh hidungku. Juga bajunya yang sangat usang dan sedikit sobek di bagian lengan membuatku lagi-lagi tersentak. Ingin aku bertanya tentang pemandangan yang tak mengenakkan hati ini, tetapi aku tak berani mendengar kejujurannya lebih banyak lagi, karena itu pasti akan membuatku semakin tertampar. Maka aku urungkan niat itu, dan mengubahnya dengan hanya menerka-nerka dan memaksa berhusnudzan dalam hati ‘mungkin mamaknya tak pandai menjahit baju'
.
17.45 WIB. Matahari mulai menepi, tapi aku masih ingin lebih lama bersama Tia. Maka aku putuskan mencuri sepuluh menitku untuk singgah dan berbincang dengannya di sebuah warung yang tak jauh dari tempat biasa Tia ‘mangkal’.
‘‘Rumah Tia di mana?’’
‘‘Tia tinggal sama siapa?”
“Sehari Tia biasanya dapat berapa?”
Rasa keingintahuanku sedikit membuatku terkesan lancang karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi kepadanya. Tetapi tampaknya Tia tak merasa ada yang salah dari pertanyaanku. Dia terus menjawab sejujur mungkin. Seperti dugaanku, jawabannya membuat aku terluka berkali-kali.
Ku lihat matahari mulai redup di ufuk barat, dengan berat hati aku pun harus memutuskan untuk menyudahi perbincangan yang bersejarah ini. Seperti permintaanya, aku akan menghantarkannya ke sisi kanan jalan. Dari jarak kurang lebih 20 meter aku melihat di tempat itu ada beberapa anak yang senasib dengan Tia berkumpul, mungkin sebentar lagi mereka akan menghitung berapa banyak yang mereka dapat hari ini. Mungkin.
Aku pun menepi, bermaksud menurunkannya di tempat yang dia pinta tadi. Anak-anak lain menyambut Tia dengan beberapa pertanyaan. Kemudian dia turun dengan mengatakan sesuatu yang tak aku duga sebelumnya.
“Makasih ya, Kak.” katanya sambil mencium tanganku.
Ya Allah , hari ini aku bersalaman langsung dengan tangan kecil yang biasanya menadah kasihan orang lain.
“Sama-sama, sayang, kakak pulang dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam, kak”
Sayangnya selama beberapa menit bersama Tia, aku tak sempat menanyakan siapa nama panjangnya dan apa yang Ia harapkan selama ini. Kalau begitu, tanpa mengurangi rasa hormatku pada Mamakny, biarlah aku memberikan Ia nama panjangbeserta harapanku kepada Tia.
‘muTIAra’. Besar harapan di sebalik nama itu. Untukmu, Dik. Semoga kemudian Allah memberi sesuatu yang kakak tahu sama sekali tak pernah kau harapkan. Semoga Allah menggantikkan sesuatu yang kakak yakin tak pernah engkau keluhkan.
Tiara hanya satu dari banyaknya anak di dunia ini yang akan membuat banyak orang malu. Yang akan membuat banyak orang lebih berfikir untuk mengeluh. Yang akan membuat orang untuk belajar lebih mamahami akan hakikat bersyukur.
Terimakasih untuk 10 menit yang berkesan ini, Dik. Darimu kakak belajar bahwa betapa pentingnya bersyukur walau sekecil apapun nikmat itu.
Mulai hari ini kau masuk di dalam catatan sejarahku, yang kelak akan kuceritakan pada banyak orang tentang betapa hebatnya dirimu. MUTIARA.
“...sesungguhnya jika kamu bersyukur, nisacaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim:7)”
TAMAT
Komentar
Posting Komentar