PBSI, Aku Jatuh Cinta❤

Aku pernah berada di posisi paling terpuruk dalam hidup, yakni mendapati kenyataan bahwa aku tidak lulus dalam seleksi untuk masuk ke PTN yang kuharapkan (SNMPTN). Tidak ada yang lebih menyakitkan kala itu, selain aku harus berbesar hati bahwa aku telah gagal menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ilkom).

Ilmu Komunikasi merupakan pilihan utamaku waktu itu. Apabila empat-lima tahun kemudian aku telah menyandang gelar sebagai sarjana Ilmu Komunikasi, harapanku tidak muluk-muluk —menjadi seorang jurnalis, itu saja. Sedangkal pengetahuan yang kumiliki waktu itu, apabila menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, maka aku akan mendapatkan bekal pengetahuan mengenai tulis-menulis, suatu saat karyaku akan dimuat di beberapa media cetak dan dijual di toko-toko buku, kemudian dibaca oleh ribuan pasang mata.

Singkat cerita, pada 9 Juni 2015, aku mendapati kenyataan bahwa Ilkom bukanlah takdirku, ternyata menjadi jurnalis bukan lah masa depanku. Seketika semuanya gelap, dua hari dua malam aku dirundung kesedihan; seakan telah jatuh dari ketinggian—aku terlalu tinggi berangan. Aku tak butuh nasihat dari siapa-siapa waktu itu; aku hanya butuh jawaban mengapa aku tidak menjadi satu dari empat puluh orang beruntung itu? Seburuk itukah hasil kerja kerasku selama 6 semester ini? Kenyataan ini hampir-hampir membuatku enggan untuk melanjutkan kuliah; takut mencoba (lagi), takut berharap (lagi), dan takut terjatuh (lagi).

Setelah ummi bersusah-payah membujukku, berusaha membuat hatiku meluluh lagi, akhirnya nafsuku untuk melanjutkan kuliah kembali seperti sedia kala. Memang benar, ummi tak memiliki sayap, tetapi nasihatnya bak seorang malaikat yang mampu menyembuhkan lukaku secara perlahan. Dengan dorongan yang luar biasa dari ummi dan orang-orang terdekatku, akhirnya aku kembali memberanikan diri untuk melanjutkan perang pada seleksi selanjutnya.

Pada hari pertama pendaftaran dibuka, aku menjadi orang pertama di sekolahku yang mendaftarkan diri untuk mengikuti tes itu, tes SBMPTN namanya. Katanya tes kali ini jauh lebih menantang, bukan sekadar mengisi data diri dan menginput nilai selama lima semester, kemudian duduk manis dan menghitung hari menanti pengumuman kelulusan.

Beberapa hari sebelum mendaftar, aku sudah mencoba mempertimbangkan banyak hal tentang jurusan yang akan aku ambil dalam SBMPTN. Ternyata hatiku masih untuk Ilmu Komunikasi, hanya saja tidak lagi menomorsatukannya.

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), aku pikir Prodi yang akan kupilih ini tidak jauh-jauh dari jurusan Ilkom yang sempat aku idam-idamkan. Harapanku di Prodi ini, kelak aku akan ditempa menjadi calon penulis yang baik, belajar banyak hal yang mungkin tidak kalah hebat daripada Ilkom. Akhirnya aku memutuskan, bahwa PBSI kutempatkan di urutan pertama, sedangkan di urutan kedua dan ketiga aku tetap memilih Ilmu Komunikasi di dua Universitas yang berbeda.

Tiga minggu menjelang tes dilangsungkan, hari-hari kulalui dengan menjadi pribadi yang lebih ‘rajin’, tekun, dan lebih dekat dengan Tuhan. Yang poin ke tiga ini memang agak lain—lebih menjurus ke bathiniah, ya. Sebab, kata orang, jika aku menginginkan hasil yang baik, maka wajib bagiku mencari perhatian kepada yang berhak menentukan keberhasilanku, Allah Swt. Belajar dan berdoa menjadi rutinitasku waktu itu. Jangan tanya perkara letih dan bosan dalam melalui tiga minggu ini, sungguh pahitnya tidak mampu untuk kujelaskan. Begitu juga saat hari H dimana tes akan dilangsungkan; bajuku basah akibat diguyur hujan, motor yang kutumpangi kehabisan bensin, terjebak macet di lampu merah, perutku berkali-kali menjerit kalaparan, kakiku berdarah tertendang batu, membawa alat tulis seadanya (ini yang paling menyedihkan). Wah, hanya Allah dan diriku yang tahu tentang getirnya hari itu. Semoga Allah menjaga ingatanku, sebab aku tak ingin melupakan kenangan sepahit dan sehebat ini. Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan ‘perjuangan’; selamanya akan menjadi kenangan.

Singkat cerita, tibalah aku pada hari yang aku dan ribuan pejuang SBMPTN nanti-nantikan, 9 Juli 2015. Alhamdulillah, aku dinyatakan lulus pada Prodi PBSI di Universitas Riau. Terharu sekali, Allah amat baik, kerja kerasku berbuah bahagia. Di tanggal yang sama merupakan hari ulang tahun ummi dan kakaku, dengan bangga aku dedikasikan kelulusan ini untuk mereka berdua. Aku bisa menyaksikan kebahagiaan mereka hari itu, murni sekali. Aku juga kebanjiran ucapan selamat dari banyak orang, wah. Jalan untukku mulai terbuka, kali ini aku yakin akan lebih getir dari sebelumnya; kegetiran yang membahagiakan.

Alhamdulillah, sekarang aku sudah memasuki semester lima. Sudah dua tahun berlalu, tetapi  perjuangan kemarin masih kuingat jelas, tentang banyaknya tetes keringat dan keluhan yang keluar dari mulutku. Aku tak mungkin melupakannya, sebab hal itulah yang mengantarkanku pada hari ini.
Hari ini aku berkesimpulan bahwa ternyata pikiranku selama ini tentang PBSI cukup sempit; apa yang aku harapkan terlalu sederhana jika dibandingkan dengan yang aku dapatkan. Aku mendapatkan lebih dari sekadar pengetahuan dan kiat-kiat menulis. Setelah tahu kenyataannya, aku bahkan tidak lagi ‘ambil hati’ ketika ada orang yang menganggap PBSI-ku ini bukan apa-apa. Di sini aku mendapatkan lebih dari yang aku mau; banyak teman, banyak ilmu, banyak pengalaman, banyak hikmah apalagi.

Dulu aku juga pernah memiliki anggapan yang sama seperti orang kebanyakan, bahwa bahasa Indonesia itu mudah, bahwa bahasa Indonesia itu sepele, bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Prodi lain. Tetapi waktu yang membuat diriku mematahkan pendapatku sendiri; ternyata bahasa Indonesia tidak sesederhana itu. Beberapa istilah asing berbau kebahasaan telah sering kudengar selama 4 semester ini, beberapa nama-nama sastrawan hebat dengan karya-karya yang hebat pula memperbesar keinginanku untuk mengikuti jejak mereka. Sekali lagi aku katakan, aku mendapatkan lebih dari apa yang aku inginkan.

Benar bahwa sesekali hatiku masih iri melihat mahasiswa Ilmu Komunikasi, tetapi rasa cintaku terhadap pilihanku (PBSI) ini jauh lebih besar. Ummiku yang semulanya cukup meragukan pilihanku, kini telah berhasil aku yakinkan bahwa pilihan hatiku tak keliru.
Hikmah dari perjalanan ini amat banyak setelah aku bersungguh-sungguh mensyukurinya. Allah memang tak mengizinkanku untuk menjadi mahasiswa Ilkom, karena di sebaliknya Allah telah siapkan skenario yang jauh lebih indah dari yang aku idam-idamkan. Berbagai kejadian membuatku belajar dan berusaha menjadi pelakon yang baik dalam memainkan peran ini. Waktu dan setiap masalah juga turut menjadi sebab diriku mendewasa.

Sahabat, memang kadang kala sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan itu menyedihkan. Bukannya Allah mengabaikan kita, tetapi, Allah tahu apa yang kita mau tidak selalunya baik untuk kita. Sebab itu Allah memutuskan untuk menunda mengabulkan apa yang kita mau, dan Allah mendahulukan apa yang sebenarnya kita butuhkan. Semua yang Allah berikan pada kita itu adalah kebaikan apabila kita berprasangka baik terhadap hal tersebut. Dan sebaliknya, jika kita berburuk sangka terhadap takdir Allah, maka selamanya hati kita akan merasakan sisi buruknya saja.

Pada tiap masalah, Allah telah siapkan solusi. Pada tiap penyakit, Allah telah siapkan obat. Pada tiap kejadian, Allah telah sisipkan hikmah. Tapi semua itu tidak datang dengan sendirinya jika kita tidak berusaha menjemputnya. Bersabar dan bersyukur, maka Insyaa Allah, segalanya akan menjadi indah.

Catatan: hikmah yang di maksud di sini ada pada kiriman sebelumnya yang berjudul 'Tentang Hikmah dan Hidayah'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra Pragmatik_Novel Sebelas Patriot

Kauniyah Oil; si Botol Hijau dengan Khasiat Memukau

Berlembar Narasi Tentang Mengabdi