Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Menutup Diri dari Pahitnya Nasihat

"Biarkan saya berjalan sebagaimana yang saya inginkan. Bukankah lebih baik bila nasihat itu kamu peruntukkan kepada dirimu sendiri?". Terdengar dan terkesan bijaksana, tapi sayang, belum tentu dapat diterapkan dalam segala keadaan. Nasihat dan julidan merupakan dua hal yang terkadang sangat tipis perbedaannya, sehingga tak sedikit manusia sulit untuk membedakan keduanya. Entah karena pernah adanya pengalaman dinasihati dengan cara yang kurang indah, atau memang tersebab hatinya selalu menutup diri dari perhatian orang lain. Sekali-kali, tak ada salahnya apabila kita sedikit saja membuka telinga dengan tulus, kemudian membiarkan nasihat itu merasuki hati secara perlahan. Kendati pada akhirnya tak semua nasihat itu dapat diindahkan dengan perbuatan, setidaknya mengakui kebenarannya dengan hati saja sudah cukup. Jikalau seperti ini yang terjadi, maka kita berhak untuk menafikkan bila dicap sebagai orang yang antikritik. Sekurang-kurangnya berusaha kita terbuka atas sebuah nasiha...

Hati yang Butuh Ditentramkan

Ada waktu-waktu di mana hati dan perasaanmu penting untuk dinomorsatukan. Setelah berbagai keletihan menjaga perasaan orang lain berhasil kamu lalui, tak ada salahnya jika sedikit saja agar kamu mempedulikan ketentraman jiwamu sendiri. Dia telah lama lelah, sebab harus terus berkata 'iya' atas apa yang tak hatinya ingin. Dia telah lama ingin memberontak, karena selalu saja kamu paksa untuk 'mengalah' terhadap hal yang seharusnya dapat ia pertahankan. Ini tak selalu dapat disebut dengan sebuah egoisme, kecuali jika kamu membuat keputusan besar tanpa memikirkan baik dan buruknya terlebih dahulu, dan mengacuhkan bagaimana imbasnya terhadap hati orang lain. Ini hanya merupakan usaha sederhana untuk menyelematkan hati yang juga memiliki hak untuk diperjuangkan keinginannya; selama tidak keluar dari koridor kelaziman. Tetaplah merendah, terhadap beberapa hal yang memang tak mesti kamu perebutkan kuasanya. Namun, devinisi sabar bukan berarti kamu hanya tinggal diam dan mengaba...

Menjadi Tuan Rumah yang Arif

Tak salah bagi mereka yang ingin datang sebagai tamu, sebab terkadang hati kitapun tak ubahnya sebuah rumah; yang tak hanya bisa ditempati, melainkan sesekali juga boleh untuk sekadar disinggahi. Dan selaku tuan rumah yang baik, memanglah mengambil hikmah atas setiap kehadiran sang tamu merupakan hal yang tidak mudah, namun akan sangat arif apabila telah berhasil dilakukan. Sebab tak semua yang ditinggalkannya hanyalah berupa penyesalan, tetap akan ada sisi baik yang seharusnya membuat kita sadar bahwa ternyata kita masih butuh untuk banyak belajar. Salah satunya ialah belajar tentang arti pentingnya merawat kepercayaan dan mempercayai. Terima kasih ^^ Selamat tinggal ^^

Sulitnya Merawat Keikhlasan Hati

Merasa banyak berjasa terhadap hidup orang lain memanglah tidak pernah dibenarkan. Namun, menganggap bahwa orang lain tidak pernah berkontribusi dalam hidup kita, juga tak kalah disayangkan. Semoga kita dijauhkan dari sifat semacam ini dan dari orang-orang yang memiliki sifat ini. Sebab jika hal tersebut terlanjur terjadi, keikhlasan hatilah yang akan menjadi taruhannya. Diawali dengan perang mengungkit jasa yang tak bisa dielak. Lalu membeberkan siapa yang paling banyak memberi juga sulit untuk dihindari. Kemudian diakhiri dengan terhapusnya seluruh amal yang sudah dicatat rapi oleh Malaikat. Hangus. Tidak ada kebaikan yang tertinggal, kecuali dosa yang menyebabkan pelakunya telah merasa kenyang sebelum makan.

Memintal kembali Jalinan Ukhuwah

Dirimu yang sempat terpunggungi oleh sesuatu yang tak kunjung kulisankan, akhirnya pulang walau sejatinya tak pernah kuanggap pergi. Kini kita bersepakat lagi untuk kembali memintal ukhuwah yang jalinannya sempat terlerai karena egoku yang sejalan dengan ketidaktahuanmu. Ternyata, diam dan menghilang tak selalu menjadi solusi dari redupnya binar pertemanan kita, yang seharusnya memang hal ini telah kita dudukkan sejak jauh-jauh hari. Namun tak mengapa, dari perpisahan sesaat itu aku belajar beratnya untuk mengakui bahwa aku kehilangan dan masih membutuhkanmu justru menjadi menyiksa diri sendiri. Kenangan empat tahun bersama sulit untuk kunafikkan indahnya. Sehingga aku memilih untuk menoleh lagi, yang kemudian kau sambut hangat dengan sebuah harapan besar, bahwa setelah ini tak akan ada lagi kenyataan pahit yang bernama perpisahan. "Jangan pergi lagi". Demikian pintamu padaku yang kadang terlalu gegabah dalam membuat keputusan. Matakupun seketika mengembun sembari mendekapmu...

Sepucuk Pujian

Ummi.  Sapaan ini sejatinya merujuk kepada seorang wanita istimewa yang bagi sebagian besar manusia di bumi ialah Ibu. Namun bagi saya sendiri--setelah melalui proses penyimpulan lebih dari dua dekade lamanya, saya dapat dengan bebas menganggap beliau sebagai seorang Ibu maupun Ayah di waktu yang bersamaan.  Dari sudut rupa dan fitrahnya, Ia merupakan seorang wanita yang memakau dalam kesederhanaan, dikaruniai sifat keibuan dan sarat kasih sayang, serta lengkap dengan bakat memasak yang jam terbangnya tak akan mampu saya lampaui. Namun, dari sisi yang tak dapat dilihat oleh orang banyak, Ia diberikan kelebihan lain berupa ketangguhan hati yang tak semua diri dapat miliki. Air mata seolah menjadi sesuatu yang asing baginya. Bukan sebab hidupnya tak pernah dirundung kesedihan, melainkan mungkin jumlah nikmat yang Ia harus syukuri jauh lebih banyak dari pada kesedihan-kesedihan itu. Bila dekat menghangatkan, bila jauh hati tak berhenti merinduinya. Sehari saja tak mendapat atau ...

Tentang Pemujian, Pengakuan, Pembelaan, Kesepakatan, dan Kerendahan Hati.

Ini cerita tentang kita yang berusaha merendahkan hati. Tentang sebuah pemujian. Tentang sebuah pengkauan. Tentang sebuah pembelaan. Juga tentang sebuah kesepakatan.  Sebuah pujian darimu tentang bergelimangnya lebihku, yang aku bermuasal dari singgasana yang saling berbagi bahagia. Juga sebuah pengakuan tentang terbatasnya dirimu, yang bermuasal dari rapuhnya sebuah dinding yang terlalu sering terbias air mata. Namun, bagiku kamu teramat pantas untuk disanjung. Sebab kamu memiliki kekayaan dalam bersikap dan bertutur kata. Bukankah tak pernah hatiku tersayat oleh lidahmu yang tak kenal sembilu itu? Lalu, aku mencoba menyamaratakan kita. Sebuah usaha untuk menghibur dirimu yang merasa telah kutinggalkan jauh. Dengar! Tidak hanya harimu yang pernah diramaikan sedih, boleh jadi aku selama ini hanya terlihat baik-baik saja, tanpa pernah kamu tahu bahwa ada luka di balik bekas balutan yang tertutup rapat oleh senyumku. Akhirnya. Kita memilih untuk mensyukuri kelebihan yang kita punya. ...

Yang Sulit dari Sebuah Ketulusan

Wujud dari tulus memberi adalah ketika kita tidak lagi menjengkal seberapa dalam bahagia yang akan dirasakan oleh orang yang menerima pemberian itu. Wujud dari tulus memberi adalah ketika kita tidak lagi mengira-ngira ucapan terima kasih sedahsyat apa yang akan mulutnya katakan dan apa yang akan telinga kita dengarkan. Wujud dari tulus memberi adalah ketika kita tidak lagi menunggu balasan apa yang akan kita peroleh darinya. Wujud dari tulus memberi adalah ketika kita telah melapangkan dada apabila yang kita beri  sepenuh hati justru tak berarti besar baginya. Wujud dari tulus memberi adalah ketika kita tetap dan terus memberi setelah mengetahui bahwa dia tak membalas apa yang sebelumnya kita beri kepadanya. (Novia Fahronnisya)

Mereka yang Memunggungi Janjinya

Satu persatu pergi, yang tetap tinggal hanya mereka yang masih mengerti makna setia. Pada akhirnya semua perlahan beranjak, memunggungi janji yang pernah mereka buat secara sadar di masa-masa manis itu. Puisi-puisi mengikat yang pernah mereka rangkai juga seakan telah berakhir sebagai serangkaian kalimat biasa yang tak lagi bernyawa.  Aku, tak pernah begitu menyukai perpisahan, walau sadar semua itu merupakan kepastian yang tak terelakkan dalam hidup. Datang dan meninggalkan seolah menjadi hukum alam yang juga tak boleh ditolak. Dan kini, masing-masing mereka sedang sibuk menikmati jalan sendiri tanpa pernah ingin menoleh ke belakang. Seolah tak pernah ada cerita yang ditulis dan tak ada yang layak pula untuk dikenang. Silakan jika ingin pergi. Toh, dahulu ketika menyambutmu datang sebagai sesuatu, artinya aku juga sudah bersedia apabila kau tinggalkan sewaktu-waktu. 

Tentang yang Menetap dan yang Meninggalkan

Menunjukkan hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah harus, tetapi, jujur akan sisi kurangmu juga tak kalah penting. Agar apa? Apabila yang tampak darimu hanyalah kelebihan yang disukai banyak orang, maka wajar jika banyak pula yang bertahan. Namun, apabila kamu berterus-terang bahwa di dalam dirimu sarat akan ketidaksempurnaan, maka di situlah kamu bisa melihat siapa yang pergi dan siapa pula yang jujur menemani. Adapun yang menetap, semoga dia menjadi yang bersedia menerima dan membersamaimu menuju perbaikan. Sedangkan yang memilih pergi, semoga waktu perlahan membuka lebar matanya, bahwa dia hanya akan menghabiskan waktu untuk sebuah pencarian panjang akan suatu 'kemustahilan' yang bernama 'kesempurnaan'.