Kritik Sastra Mimetik_Novel Di Bawah Telapak Kakimu
Nama : Novia Fahronnisya (No. Presensi 5)
Mata Kuliah: Menulis Kritik dan Esai
TugasUAS : Menulis Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Mimetik
Objek yang dikritik: Novel “Di Bawah Telapak Kakimu” (Karya Taufiqurrahman Al-Azizy)
Novel yang berjudul “Di Bawah Telapak Kakimu” ini menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga yang terpecah. Perpecahan ini terjadi akibat salah satu pihak yang memperebutkan harta warisan. Mak Ijah dan Pak Haris merupakan kakak-beradik, dimana Pak Haris lah yang menjadi pemicu terjadinya permasalahan antara keduanya. Pak Haris mengaku-ngaku bahwa tanah peninggalan orang tua mereka adalah miliknya, padahal kenyataan sebenarnya adalah, tanah itu telah diwariskan kepada Mak Ijah. Lebih-lebih pada saat itu keadaan ekonomi keluarga Pak Haris sangat baik dan stabil, berbanding terbalik dengan Mak Ijah dan anaknya, Dimas, yang hidup serba berkekurangan setelah kepergian suami Mak Ijah.
Novel ini mengangkat kisah tentang persilihan antar kakak-beradik yang disebabkan oleh harta warisan. “Kenapa mereka setega ini? Sawah itu memang miliknya dan itu adalah satu-satunya harta yang dimiliki. Ladang yang biasanya ditanami jagung, kacang panjang, kacang tanah, serta sayur mayor, kini telah dikuasai kakaknya…” “Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya?” Kutipan di atas dapat kita lihat di kehidupan nyata. Dimana kakak-beradik kerap berselisih karena pembagian jatah sepeninggal orang tuanya yang tidak sama rata, atau salah satu di antara keduanya ada yang memiliki sifat tamak dan ingin menguasai warisan sepenuhnya tanpa memikirkan pihak lain.
Novel ini juga menceritakan tentang seorang pemuda bernama Dimas yang tidak lain ialah anak sematawayang Mak Ijah. Dimas sangat menyayangi mak Ijah, ia tidak sanggup jika melihat mak Ijah menderita dan dihina. Ia rela melakukan apa saja demi mak Ijah yang dicintainya. Hal ini dapat dilihat pada halaman 22 yang berbunyi “Dimas tak tega melihat emaknya menangis seperti itu. Ia biarkan sang emak mencurahkan segala kegundahan hatinya. Walau hatinya sakit mendengar umpatan dan cacian emaknya kepada Nugroho dan kedua orang tuanya, Dimas terus membiarkan emaknya berkata-kata sebab ia pun menyadari bahwa sang emak hanya bisa berkata-kata.”. Kecintaan seorang anak kepada Ibunya merupakan sesuatu yang lumrah dan wajib dimiliki oleh tiap anak. Hal ini dapat kita lihat di dunia nyata. Ada begitu banyak orang tua di dunia ini yang memiliki nasib tidak begitu beruntung dalam hal perekonomian, tetapi mereka justru beruntung sebab telah dianugerahi anak yang taat, patuh, dan rela mengorbankan banyak hal untuk mereka. Seperti yang pernah diberitakan di televisi, ada seorang anak yang rela merawat ibunya yang lumpuh dan hidup dengan segala keterbatasan, padahal anak tersebut masih memiliki hak untuk menikmati masa kecilnya dengan belajar dan bermain. Berkat rasa cinta dan kesadaran itulah anak tersebut dapat melakukan hal yang demikian. Seperti halnya Dimas, ia senantiasa setia kepada Mak Ijah dengan segala kekurangan yang dimilikinya, bahkan hingga akhir hayatnya.
Perselisihan antar kakak-beradik boleh saja terjadi, entah itu dikarenakan masalah harta dan yang lainnya, tetapi kakak-beradik tetaplah keluarga, dimana keduanya terlahir dari rahim yang sama, di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama. Sepelik apapun masalah yang pernah dihadapi oleh kakak-beradik, pada akhirnya mereka tetap tidak dapat dipisahkan, harta nyatanya tidak mampu membuat mereka berselisih selamanya. Nah, di bagian akhir novel ini, penulis menceritakan tentang penyesalan pak Haris atas apa yang telah ia perbuat. Penyesalan itu ia akui sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. Melalui sepucuk surat yang ia tujukan kepada adiknya, Mak Ijah, ia mengajukan permohonan maaf atas segala kesalahannya dan mengakui semua dosa-dosanya. Hal ini dapat di lihat pada halaman 263, dengan kutipan “akhirnya kepada seluruh warga Mangunharjo. Inilah Haris, yang bergelimang noda dan dosa. Kutulis surat ini saat aku telahb merasa umurku tinggal sebentar lagi. Aku memohon dengan sebesar-besarnya, maafkan kesalahanku, maafkan..”
Novel ini harus diakui begitu menyentuh sanubari siapa saja yang membacanya. Mengangkat cerita yang begitu dekat dengan kehidupan nyata. Novel ini juga sarat akan pesan agama dan moral, terbukti di beberapa kejadian dalam novel selalu ada hikmahnya. Walaupun pada dua bab di awal ceritanya cukup monoton dan membosankan, tetapi pada bagian tengah hingga akhir pembaca seperti diajak dan terlibat dalam cerita ini. Dengan menggunakan diksi yang amat baik dan mudah dimengerti, akhirnya novel ini sangat berkesan dan bernilai.
Komentar
Posting Komentar